Oleh:Ahmad Luthfi, S.Pd.

Berbicara tentang pahlawan, tentu bukan hal yang asing lagi bagi kita semua. Seorang pahlawan adalah orang yang dinilai berjasa terhadap perubahan di negara ini. Waktu, pemikiran, tenaga, bahkan darah dan nyawa rela dipersembahkan untuk kepentingan bangsa. Sederhanannya, itulah pengorbanan-perngorbanan yang dilakukan oleh seorang pahlawan. Lalu siapakah pahlawan-pahlawan tersebut?

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”, kata Bung Karno pada Hari Pahlawan, 10 November 1961. Setiap tahun kita diajak untuk mengenang jasa para pahlawan, baik yang nama-nama dan foto-fotonya kita kenal, maupun para pahlawan yang tak dikenal. Sekolah-sekolah mengadakan upacara bendera. Di kampung-kampung, para pemuda membaca sajak “Krawang Bekasi” dari Chairil Anwar dan membaca novel “Di Tepi Kali Bekasi” dari Pramoedya Ananta Toer.

Menghormati jasa pahlawan tentu bukan hanya “mengenang masa lalu” selama sehari dalam setahun. Kita harus berterimakasih pada para pahlawan, yang memungkinkan kita setiap hari menghirup suasana kebebasan. Salah satu manfaat dari ditetapkannya figur-figur pahlawan dan penghormatan atas mereka pada hari pahlawan ialah agar generasi-generasi berikut dapat memiliki contoh keteladanan dalam hidup bersama.

Namun, bukankah zamannya sama sekali berbeda? Bukankah sekarang ini, kita tidak lagi dijajah dan tidak dalam keadaan perang? Jadi, apa artinya meneladani para pahlawan? Sebagai bangsa merdeka yang hidup dalam suasanan perdamaian, kita tetap dapat meneladani para pahlawan. 

Untuk itu, kita melihat seorang pahlawan sebagai figure yang berhasil mengembangkan Civic Virtues (kebajikan seorang warga) dalam dirinya, sehingga rela mengorbankan kepentingan diri bahkan hidupnya, dalam mengupayakan, mempertahankan atau membela kemerdekaan bangsannya. Maka dalam suasana kemerdekaan dan perdamaian seperti sekarang, kata kunci yang perlu digarisbawahi ialah Civic Virtues.

Lagu kebangsaan kita, terdapat kalimat yang berbunyi “Di sanalah aku berdiri, jadi pandu Ibuku”. Pandu artinya penyuluh, penggerak, motivator, penuntun, penunjuk arah. Lagu kebangsaan ciptaan Wage Rudolf Soepratman ini dikumandangkan pertama kali di Kongres Pemuda II di Jakarta 1928. Para pesertanya adalah mereka yang disebut Robert van Niel sebagai “elite Indonesia yang baru muncul”. Elite Indonesia yang baru muncul itu punya komitmen untuk menjadi pandu Indonesia.

Maka dalam Indonesia yang sudah merdeka, semakin demokratis dan semakin terpelajar ini, kita semua adalah Pandu Indonesia. Kita semua wajib menumbuhkembangkan kebajikan warga di lingkungan kita masing-masing.